
"Ada kemungkinan (PHK). Kalau begitu kan produksinya turun," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (24/10).
Di sisi lain, konsumen rokok akan beralih mengonsumsi rokok ilegal karena harganya jauh lebih murah. "Kalau ilegal itu berarti apa? Tidak bayar cukai. Itu yang harus diperhatikan oleh pemerintah," terang dia.
Sementara itu, Ketua Komunitas Kretek Indonesia Aditia Purnomo menilai kenaikan cukai rokok sebesar 25 persen dapat membuat industri rokok kian terpuruk. Sebab, kenaikan cukai rokok tak hanya berdampak pada lapisan konsumen, melainkan juga produsen, pekerja maupun petani.
"Yang kena dampak ada tiga (di luar konsumen). Pabrik, (dalam hal ini) pekerja, petani, dan juga pedagang," jelasnya.Kenaikan harga di tingkat konsumen, sambung dia, akan membuat konsumen beralih ke konsumsi rokok yang lebih murah. "Penjualan rokok tahun depan hampir pasti turun signifikan. Produksi akan berkurang," imbuh dia.
Berkaca pada produksi rokok tahun ke tahun. Data Kementerian Perindustrian menyebut jumlah pabrik rokok turun sekitar 80,83 persen dari 2.540 pabrik pada 2011 menjadi tinggal 487 pabrik pada 2017. Penurunan operasi pabrik tersebut mengakibatkan lapangan kerja berkurang.
Menanggapi hal tersebut, Komunitas Kretek Indonesia memandang industri rokok saat ini sedang bertarung hidup dengan kebijakan yang kian menyeret.
"Karena industri rokok ini kan banyak ya, bukan cuma yang besar-besar bukan cuma yang asing. Ada yang pabrik-pabrik menengah ke bawah, UMKM. Itu mereka akan megap-megap dengan kebijakan yang ada. Sudah mereka sulit bertarung di pasaran, kebijakan yang ada juga membuat mereka makin sulit untuk produksi," tutur Aditia.Sebagai informasi, pada 2014 hingga 2015, Kementerian Perindustrian mencatat 100 unit usaha pada industri hasil tembakau (IHT) berkurang.
Pada 2014, angka IHT masih berkisar 700 unit usaha dengan produksi sebanyak 346,3 miliar batang rokok. Namun, pada 2015 jumlah IHT menurun menjadi 600 unit usaha, meskipun produksi justru bertambah menjadi 348,1 miliar batang rokok.
Penurunan angka pabrik yang memproduksi produk tembakau ini ditaksir Komunitas Kretek Indonesia akibat dua kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan kala itu.
Terhitung sejak 24 Juni 2014 Menteri Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau mewajibkan kemasan rokok menampilkan gambar peringatan bahaya merokok.Tarif cukai rokok pada 2014 juga dinaikkan sebesar 8,72 persen di bawah kewenangan Menteri Keuangan Chatib Basri. Kenaikan cukai rokok tahun ini yang jauh persentasenya dibandingkan 2014 lalu dinilai akan menuai dampak yang jauh lebih signifikan.
Dalam peraturan menteri keuangan yang akan mulai berlaku 1 Januari 2020 mendatang, kenaikan tarif cukai dan rokok diterapkan secara bervariasi. Untuk jenis rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I buatan dalam negeri, batasan harga jual eceran per batang dinaikkan dari Rp1.120 per batang menjadi Rp1.700 per batang.
Untuk tarif cukainya dinaikkan dari Rp590 menjadi Rp740 per batang atau 25,4 persen. Untuk jenis Sigaret Putih Mesin (SPM), batas harga jual eceran per batang naik dari Rp1.120 per batang menjadi Rp1.790 per batang.
[Gambas:Video CNN]
Sementara itu, untuk cukainya, naik dari Rp625 menjadi Rp790 per batang atau 26,4 persen. Untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan I, harga eceran dinaikkan dari Rp1.260 menjadi Rp1.460 per batang.
Untuk tarif cukainya, naik dari Rp365 menjadi Rp425 per batang. Sementara itu, untuk rokok impor jenis SKM, harga jual eceran terendah dinaikkan dari Rp1.120 jadi Rp1.700 per batang.
(fey/bir)
https://ift.tt/2ofl37U
October 25, 2019 at 02:12PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2ofl37U
via IFTTT
No comments:
Post a Comment