"Mutasi itu kan bisa karena punishment and reward. Saya duga jangan-jangan kapolsek [condong] ke salah satu calon akhirnya, kemudian diganti. Ada perasaan sakit hati," kata dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (1/4).
Sebelumnya, Sulman mengaku mendapat arahan dari Kapolres Kabupaten Garut agar menggalang dukungan untuk Jokowi-Ma'ruf Amin.Kini, Sulman mengaku sudah tidak menjabat sebagai Kapolsek Pasirwangi dan dimutasi ke Polda Jawa Barat seksi penanganan pelanggaran.
Mutasi itu diterapkan karena Sulman dituduh mendukung acara deklarasi calon presiden nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga di wilayahnya pada 15 Februari. Sulman mengaku difitnah turut membiayai acara tersebut.
Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar menyebut ada pendataan oleh anggota Polri terkait dukungan di Pilpres 2019. Ia juga mendampingi Sulman dalam konferensi persnya. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
|
"Apa yang dilakukan kapolsek disebut sebagai disersi. Enggak boleh. Karena ada doktrin Tri Brata dan Catur Prasetya. Kalau memang betul, mekanismenya normatif, ke Kadiv Propam, bukan melakukan konpres. Itu merusak organisasi yang menghidupi dia," urainya.
Terlebih, kata dia, Sulman tak menyertakan bukti terkait tudingannya itu. Hal yang sama terjadi di sejumlah isu netralitas Polri.
"Kan ceunah, katanya. [Soal isu] netralitas TNI, Polri semua berasumsi," ujar Muradi, yang meraih gelar doktor lewat tesis bertajuk 'The Indonesian National Police in Post-Soeharto Indonesia 1998-2008' di Flinders University, Australia, itu.Muradi juga menyoroti soal momentum lokasi isu netralitas Polri itu terjadi. Menurutnya, wilayah-wilayah itu adalah daerah yang menjadi tempat kekalahan Jokowi atau bukan lumbung suara petahana.
Baginya, hal itu bisa jadi dianggap sebagai zona nyaman yang bisa melindungi pihak yang memicu isu netralitas tersebut.
"Jokowi kalah di situ [Garut]. Ada perasaan, ketika marah karena diganti, lalu mendapat momentum di sekeliling dia [Sulman] dianggap bisa melindungi dia sebagai figur, dia mainkan itu [isunya]," cetus pengajar di Universitas Padjadjaran tersebut.
Calon Presiden Joko Widodo (kanan) dan Prabowo Subianto (kiri). (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
|
Berdasarkan rekapitulasi suara KPU 2014, Jokowi takluk dari Prabowo di Kabupaten Garut pada Pilpres 2014. Saat itu, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla hanya meraih 369.199 suara (29,88 persen), sementara Prabowo-Hatta Rajasa menang besar dengan 866.613 suara (70,12 persen).
Di Kota Bima pun, Prabowo-Hatta menang dengan raihan 59.894 suara, sedangkan Jokowi-JK mendapat 18.916 suara.
[Gambas:Video CNN] (arh/gil)
https://ift.tt/2TLyGp2
April 01, 2019 at 04:25PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2TLyGp2
via IFTTT
No comments:
Post a Comment