Dua bulan pertama menjalani kehidupan di Melbourne kami tidak mengalami kendala yang berarti. Tempat tinggal kami tepat berada di seberang jalanan Monash University, tempat dimana Aflah banyak menghabiskan waktunya.
Saya pun demikian. Jarak antara rumah kami dan salah satu restoran Indonesia di Melbourne dimana saya bekerja, tak terlalu jauh, sekitar 1,8 km.
Agar bisa datang tepat waktu setiap harinya, saya menggowes sepeda, yang merupakan barang hibah dari kawan yang lebih dulu pulang ke Tanah Air.Kalau kalian pernah membaca novel Pulang karya Leila S. Chudori, maka kesibukan Dimas Suryo--tokoh utama dalam novel tersebut--tak jauh berbeda dengan saya, selain insiden Pempek yang membuat kepala restoran harus berpikir dua kali menempatkan saya di bagian dapur. Saya masih tertawa geli jika mengingat insiden tersebut.
Ceritanya begini, suatu hari empat orang bule datang untuk memesan makanan khas Palembang itu. Sebagai koki yang paling junior, saya sering diberi tugas memasak makanan ringan.
Sejak pertama kali diterima bekerja di restoran ini, saya sudah diajarkan untuk menghapal rempah-rempah, mengingat perbedaan bahan makanan yang sering tertukar seperti bihun dan mi putih, juga perbedaan rasa selera orang Asia dan orang Eropa dan Amerika.
Ya, semua sudah diajarkan kecuali soal mengolah Pempek.
"Putra, tolong cemplungin Pempek!" teriak ibu kepala restoran memberikan instruksi; singkat dan padat. Namun hal tersebut tidak diimbangi dengan pengalaman saya mengolah Empek-empek.
"Cemplungin?" pikir saya. Melihat ada air dan panci, saya langsung menyiapkan air panas dan menyemplungkan Pempek ke dalamnya.
Setelah mendengar ucapan istighfar yang panjang dan keras dari ibu kepala restoran, barulah saya merasa sepertinya ada yang salah. Kata 'cemplungin' ternyata bukan hanya soal merebus ke dalam air, namun juga dapat diartikan menggoreng di minyak panas.
Setelah hari itu, saya mulai berpikir kalau jalan karir saya sepertinya tidak bakal sama dengan Dimas Suryo.
Tapi Tuhan tahu betul bagaimana harusnya ia berlaku adil terhadap hambanya. Setelah keluar dari restoran dan mencari pekerjaan baru, akhirnya lamaran saya diterima oleh perusahaan yang memproduksi cokelat batangan.
Isi CV pekerjaan saya bertambah, dari Dimas Suryo ke Charlie and the Chocolate Factory.
Namun, dimana ada kesempatan di situ pula ada tantangan. Jarak antara rumah kami dan perusahaan coklat tersebut cukup jauh. Sepeda sudah tak dapat lagi menjadi pilihan.
Aflah selalu menjadi penenang di kala susah dan kembali begitu saja dengan solusi yang selalu sempurna. Bagi saya, ia tak ubahnya seorang pesulap. Berlangganan bus menjadi pilihan yang disodorkan olehnya, meskipun saya agak berat karena harganya cukup mahal.
Untuk bepergian tiap hari dengan bus di Australia harus menghabiskan sekitar AUS$8 (sekitar Rp80 ribu). Ada sistem berlangganan per bulan yang disebut murah tapi tetap mahal bagi saya, yakni AUS$100 (sekitar Rp1 juta).
Bagi penduduk lokal naik bus lebih murah ketimbang naik kendaraan pribadi. Namun karena saya yang udik, maka tiap dolar selalu saya kalikan kembali dengan kurs rupiah yang perbedaannya sangat jauh.
Jiwa udik harus saya tinggalkan demi masa depan keuangan yang lebih cerah. Tak ada pilihan lain, saya mulai nge-bus.
Jarak antara rumah dan tempat kerja saya yang baru sekitar 7,7 km atau sekitar 30 menit perjalanan. Berangkat tiap pukul enam pagi memberikan saya ruang untuk bertemu dengan orang yang sama tiap harinya.
Beberapa di antara mereka adalah kawan kerja dan pekerja konstruksi pabrik lainnya.
Karier sebagai pekerja konstruksi memiliki peminat yang cukup besar di sini. Setelah lulus secondary school atau sederajat SMA di Indonesia, beberapa diantara mereka mengambil kursus pertukangan.
Sekitar tiga bulan belajar, mereka sudah bisa menghasilkan uang sebesar AUS$38 sampai AUS$40 dolar per jamnya (sekitar Rp380 ribu sampai Rp400 ribu). Gaji dengan nilai lumayan itu membuat banyak pemuda yang tak malu menjadi pekerja konstruksi.
Rasa kantuk di pagi hari biasanya langsung sirna begitu bus semakin ramai oleh penumpang. Kami sering berbincang hangat, tak peduli usia dan ras.
Dari titik ini, kepercayaan saya tentang teori 'hierarchy of needs' milik Abraham Maslow semakin menguat. Saya bisa beranggapan demikian karena kebutuhan dasar warga di sini telah terpenuhi dengan baik.
Menurut Maslow, setelah kebutuhan fisiologis manusia (baca: sandang, pangan dan papan) terpenuhi, kebutuhan manusia akan berlanjut ke salah satunya adalah kebutuhan kasih sayang.
Mungkin saja keramahan warga lokal di sini membuat Economist Intelligence Unit (EIU) menyandangkan Melbourne dengan nama Kota Paling Layak Huni di Dunia.
Bertemu dengan orang yang sama tiap harinya, menjadikan kami sangat akrab. Bertukar cerita, juga merekomendasikan tempat favorit di negara asal kami, menjadi topik yang selalu menarik.
Saya tiba-tiba teringat dengan film romantis, Before Sun Rise, yang menuai banyak pujian dari kritikus film. Di film tersebut Jesse dan Celine bertemu di transportasi umum, saling bertukar cerita dan saling tertarik satu sama lain.
Hampir mirip dengan cerita saya, hanya saja, saya bertemu lebih banyak dengan om-om bule.
"Where are you from again?" mereka sering bertanya demikian.
Saya menjawab dengan pertanyaan lainnya, "Can you have a guess?". Alhasil, tak seorang pun di antara mereka yang menjawab benar.
Kalau saya persentasekan jawaban mereka, hasilnya akan seperti ini: Filipina (66 persen), Sri Langka (17 persen), Malaysia (16 persen) dan Inggris (1 persen).
Persentase jawaban terakhir adalah hasil jerih payah mengikuti tutorial Bahasa Inggris aksen British dari akun Youtube skinnyfabs hehehe...
Dari kegiatan menumpang bus bolak balik setiap hari, saya jadi punya semangat hidup baru sebagai modal untuk berjuang demi hidup yang lebih layak di Melbourne. Memang benar ternyata, keberkahan selalu bermakna banyak hal.
---
Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: ardita@cnnindonesia.com / ike.agestu@cnnindonesia.com / vetricia.wizach@cnnindonesia.com
(ard)
https://ift.tt/2THPjXM
March 17, 2019 at 10:55PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2THPjXM
via IFTTT
No comments:
Post a Comment