Sebelumnya, Prabowo menyebut kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 25 persen setiap tahunnya. Dalam beberapa tahun terakhir, APBN mencapai kisaran Rp2.000 triliun.
Dengan besaran tersebut, maka nominal kebocoran ditaksir mencapai Rp500 triliun. Namun kali ini, Prabowo menyatakan kebocoran anggaran meningkat empat kali lipat menjadi Rp2.000 triliun.
Angka proyeksi kebocoran anggaran ini ia sampaikan dengan mengutip data Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Dua hari lalu KPK membuat pernyataan bahwa yang keluar ke luar negeri dan bocor bukan Rp1.000 triliun melainkan Rp2.000 triliun. Kalau satu tahun Rp2.000 triliun, lima tahun Rp10 ribu triliun. Bayangkan dengan itu kita bisa bikin negara macam apa," ucapnya saat berorasi politik di Ciamis, akhir pekan lalu.
Meski orasi Prabowo mengutip data KPK, namun pihak lembaga rasuah justru menampik ucapan calon presiden oposisi itu. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan Prabowo salah persepsi terkait data tersebut.
"APBN sekarang Rp2.400 triliun, kami berdiskusi di banyak tempat, kami (pemerintah) tuh bisa ngejar Rp4.000 triliun. Bisa ngejar, jadi kekurangannya sekitar Rp2.000 triliun. Jadi itu bukan kebocoran, (tapi) potensi," ujar Saut.
Sementara Jokowi selaku pemimpin pada pemerintahan saat ini meminta Prabowo tak asal bunyi soal kebocoran anggaran. Ia juga meminta Prabowo turut memberikan solusi untuk mengatasi kebocoran tersebut.
"Jangan dari dulu bocar bocor, bocar bocor, bocar bocor, yang mana bocornya, tunjukkan! Kami ini mau memperbaiki, mungkin ada kebocoran, tunjukkan! Kami ini ingin memperbaiki," ungkapnya.
Ekonom Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sekaligus Dewan Kehormatan PAN Drajad Wibowo menilai persoalan data Prabowo yang sempat dituding bermasalah sejatinya tidak salah sama sekali. Meski, ia melihat perlu diskusi lebih lanjut untuk membahas bagaimana KPK bisa mendapatkan angka potensi tersebut.
"Kalaupun potensi Rp4.000 triliun, dapatnya Rp2.000 triliun, jadi Rp2.000 triliun lainnya bocor. Itu perhitungan KPK, bukan dari kami. Tapi, semua sepakat, ada kebocoran, tinggal angkanya yang harus dipastikan," katanya kepada CNNIndonesia.com.
Lebih lanjut ia mengatakan kebocoran anggaran negara memang terjadi dari beberapa sumber. Salah satunya di sektor perpajakan.
Sumber penerimaan negara ini sering mengalami kebocoran. Ambil contoh soal kewajiban bayar bagi wajib pajak yang sudah ditetapkan berkekuatan hukum mengikat. Namun sampai saat ini kewajiban tersebut tidak juga lekas disetor ke negara. Kebocoran ini biasanya masih tertinggal di dalam negeri.
Kebocoran juga terjadi dalam pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tidak disetor oleh sejumlah oknum pemungut, seperti hasil pembelanjaan ritel dan lainnya. Kebocoran juga bisa datang dari skema pengalihan kewajiban pembayaran pajak dengan tarif lebih rendah atau bahkan bebas pajak di negara-negara suaka pajak (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS).
"Ini sudah teridentifikasi siapa-siapa saja, tempatnya di mana, perusahaannya sudah termonitor. Saya tidak tahu berapa potensi pastinya, tapi dulu pemerintahan Jokowi sudah menangkap datanya sampai Rp11 triliun," ungkapnya.
Sementara Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan tudingan kebocoran itu sejatinya sah-sah saja. Bahkan, di masa pemerintahan Jokowi pun, pemerintah akhirnya melahirkan program pengampunan pajak (tax amnesty) dalam rangka memulangkan kebocoran pajak tersebut.
[Gambas:Video CNN]
Namun, menutup celah kebocoran dan mengembalikan potensi penerimaan pajak menjadi maksimal bukanlah perkara mudah. "Masalahnya, Amerika Serikat (AS) yang punya sistem perpajakan yang lebih baik pun, masih ada kebocoran seperti itu, jadi tidak bisa sepenuhnya selesai," tuturnya.
Strategi Tambal Bocor
Untuk kebocoran atas pembayaran pajak yang seharusnya sudah berkekuatan hukum tetap, kebocoran akan dilakukan dengan mengejar dan menagih wajib pajak.
"Caranya dengan jangan ada konflik kepentingan kepada masing-masing wajib pajak ini, lalu lakukan dengan tegas, tapi bukan dengan cara menakut-nakuti," ujarnya.
Menurut hitung-hitungannya, bila kebocoran ini bisa ditutup, pemerintah bisa mengantongi sekitar Rp75 triliun pajak yang tidak disetorkan. Jumlah tersebut setara peningkatan tax ratio sebesar 0,5 persen.
"Pengembalian pajak ini bisa dilakukan dengan cepat, mungkin hanya beberapa hari (setelah pemerintahan bila Prabowo-Sandi terpilih)," imbuhnya.
Sementara itu yang berkaitan dengan pengembalian kewajiban setoran PPN. Kebocoran bisa dilakukan dengan membenahi sistem teknologi dan informasi agar pendataan menjadi lebih cakap.
Dengan begitu, tidak ada satu pun pungutan PPN yang sudah dikutip dari konsumen oleh toko yang tidak sampai ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Meski begitu, lantaran pungutan menyangkut sistem, maka ia memperkirakan hasilnya tak bisa instan.
Menurutnya, kebocoran baru mungkin ditutup maksimal pada akhir masa pemerintahan Prabowo lima tahun ke depan. Sementara itu berkaitan dengan kebocoran pajak di negara pemberi suaka, Drajad memproyeksikan langkah ini bisa membuahkan hasil setidaknya dalam beberapa bulan saja.
Pasalnya, pada dasarnya telah ada informasi mengenai siapa dan di mana penggelapan pajak dilakukan. Maka, hal yang perlu dilakukan tinggal membuka seluruh data tersebut.
"Mereka ini kalau (data perpajakannya) dibuka, justru bisnisnya bisa hancur, karena kalau di negara maju sudah dicap penjahat pajak. Secara bisnis itu kalau data mereka dibuka dan tidak bayar, akan merugikan mereka sendiri," ucapnya.
Selain menambal kebocoran, Drajad mengatakan perlu dilakukan langkah yang bisa menambah potensi penerimaan negara. Upaya tersebut bisa memberikan insentif potongan pajak atau tarif rendah kepada masyarakat kelas bawah dan korporasi.
Kebijakan tersebut perlu ditempuh agar rasio pembayar pajak meningkat. Sementara Lana menilai penutupan kebocoran pajak memang bisa dilakukan dengan cara-cara seperti itu.
Tapi menurutnya, kunci utama bukan pada strategi penutupan semata. Selama sistem perpajakan belum baik, potensi kebocoran sulit diatasi.
Membangun sistem perpajakan, katanya, juga bukan perkara mudah. Pemerintah sekarang juga menyatakan ingin memperbaiki masalah tersebut.
Tapi toh, reformasi perpajakan yang selama ini dilakukan pemerintah saat ini pun belum memberi hasil memuaskan. "Kalau pemerintahan selanjutnya bisa memastikan bisa membangun sistem yang lebih baik, mungkin potensi yang keluar bisa dikurangi. Tapi masih ada banyak hal yang perlu dikejar," jelasnya.
Lana mengatakan untuk mewujudkan mimpi tersebut, pemerintah perlu berkaca pada sistem perpajakan di AS. Negeri Paman Sam itu sudah berhasil mengembangkan sistem identitas satu kartu.
Hal tersebut, sambungnya, merupakan kunci untuk bisa mengintegrasikan seluruh aktivitas ekonomi seseorang sebagai warga negara sekaligus wajib pajak. Selanjutnya, pemerintahan harus pula bisa meyakinkan seluruh warga negaranya untuk memiliki identitas pelaporan pajak alias Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Memang, NPWP saja tidak cukup. Setelah itu, perlu kebijakan yang bisa mendorong para pemilik NPWP untuk bisa taat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan hingga benar-benar membayarkan kekurangan pajaknya.
"Saat ini sebut saja pekerja di Indonesia ada 120 juta orang, hanya sekitar 40 jutanya yang punya NPWP. Dari yang punya NPWP, hanya 10 juta yang laporkan SPT, lalu yang bayar kurang bayar mungkin hanya 1 juta, jadi menumbuhkan kesadaran ini tidak mudah," katanya.
Di sisi lain, Lana mengingatkan perburuan kebocoran pajak dan cara-cara meningkatkan potensi penerimaan negara memang perlu dilakukan. Namun, yang lebih penting saat ini, katanya, adalah menjaga kestabilan agar tidak menjadi bumerang di waktu yang akan datang.
Menurutnya, indikasi kehati-hatian ini perlu dipertimbangkan karena perburuan kebocoran pajak dan pungutan baru, meski dengan tarif rendah sekalipun, berpotensi menekan konsumsi masyarakat. Pasalnya, pendapatan yang sebelumnya bisa dihimpun penuh, nantinya harus dialihkan untuk membayar pajak.
Maklum saja, 60 persen motor pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bergantung pada konsumsi rumah tangga.
"Yang perlu dilihat, tidak semata-mata mengejar potensi anggaran mencapai Rp4.000 triliun, tapi kalau setelah itu konsumsi masyarakat justru turun, pertumbuhan turun, tinggal pilih mana yang mau diambil. Jadi menumbuhkan anggaran dan pertumbuhan harus pelan-pelan," pungkasnya.
http://bit.ly/2Uo2lKk
April 09, 2019 at 08:53PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2Uo2lKk
via IFTTT
No comments:
Post a Comment