"(Mengenai) perang dagang itu semua yang kami baca dari media karena kami juga tidak tahu di dalam benaknya Trump tetapi pasar membaca ini (perang dagang) sebagai alat Trump untuk menuju Pemilu 2020," ujar Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo dalam acara Pelatihan Wartawan 2019 di Medan, Jumat (19/7).
Dody mengungkapkan perhatian utama saat ini tertuju pada perkembangan perang dagang antara AS dan China. Sejak pertengahan tahun lalu, perang tarif terjadi antara dua perekonomian dunia terbesar itu. Negosiasi dagang yang dilakukan keduanya hingga kini belum membuahkan hasil.
Terakhir, Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu pada akhir Juni lalu di gelaran pertemuan G20. Keduanya memutuskan untuk kembali membuka peluang negosiasi dagang.
Namun, lanjut Dody, perang dagang ke depan bisa saja terjadi antara AS dengan mitra dagang lainnya yang membuat neraca dagangnya defisit seperti India, Meksiko, dan Vietnam.
"Artinya, sekarang, pemerintah AS bisa juga melakukan aksi bilateral negara antar negara demi mengharapkan adanya keadilan dari perdagangan internasional," ujarnya.
Risiko perang dagang yang masih menghantui membuat gambaran ketidakpastian ke depan lebih terukur. Dalam hal ini, prospek perekonomian global ke depan diprediksi masih akan melemah.
Maka itu, BI pekan ini memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen. Harapannya, pemangkasan suku bunga dapat mendongkrak laju perekonomian domestik.
BI menilai perlu upaya untuk mendorong permintaan domestik termasuk investasi perlu ditingkatkan untuk memitigasi dampak negatif perlambatan perekonomian dunia. Strategi moneter juga diarahkan untuk mendukung ketersediaan likuiditas.
Dody memaparkan berlarutnya perang dagang berimbas negatif terhadap fundamental perekonomian global. Perang dagang mengakibatkan kinerja perdagangan internasional menurun.
"Indonesia tidak sendirian kinerja ekspornya menurun. Ini juga dirasakan oleh negara maju, negara berkembang dan Asian 5 yang ekspor impornya turun," ujarnya.
Tergerusnya kinerja ekspor berdampak pada berkurangnya pendapatan ekspor sehingga konsumsi tertahan. Lalu, permintaan global yang menurun menyebabkan berkurangnya permintaan produksi. Imbasnya, investasi melambat.
Konsekuensinya, negara yang memiliki keterkaitan investasi dan konsumsi yang kuat dengan ekspor, pertumbuhan ekonomi domestiknya tidak bisa terakselerasi dengan cepat.
Untuk menyiasati hal itu, belanja pemerintah menjadi bantalan agar ekonomi domestik bisa terus melaju. Peningkatan investasi dan konsumsi dapat didorong oleh belanja pemerintah.
Bank sentral di berbagai negara juga mulai menurunkan suku bunga acuannya untuk menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik.
https://ift.tt/2JGS2Ks
July 20, 2019 at 03:17PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2JGS2Ks
via IFTTT
No comments:
Post a Comment