
[Gambas:Video CNN]
Untuk BPJS Kesehatan, masalah defisit arus kas menahun adalah cermin penting pengelolaan BPJS yang tidak baik. Pada tahun ini, defisit BPJS Kesehatan diproyeksi mencapai Rp28 triliun atau membengkak dari tahun lalu Rp9,1 triliun sesuai audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).Menurutnya, besaran iuran bukanlah faktor satu-satunya penyumbang defisit. Masih ada inefisiensi pelayanan kesehatan, potensi kecurangan (fraud) di rumah sakit hingga piutang yang belum bisa tertagih. Menurutnya, itu semua berkaitan dengan performa manajemen.Rapor merah pun ia sematkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Banyak indikator kinerja yang menurutnya jika tak optimal. Misalnya, investasi dana kelolaan yang hanya Rp27 triliun dari target Rp32 triliun pada 2018 lalu serta dana kelolaan sebesar Rp364 triliun yang lebih kecil dari targetnya Rp367 triliun."Persoalan ini (kenaikan tunjangan) harusnya dilihat dari sisi prestasi, masalahnya prestasi mereka apa? Target-target yang sudah ditetapkan saja tidak tercapai," jelas Timboel. Timboel juga heran dengan permintaan kenaikan tunjangan tersebut di tengah tunjangan direksi dan dewan pengawas yang dianggapnya sudah cukup besar. Untuk tunjangan ini, ia mengambil contoh rencana kerja BPJS Kesehatan.Mengutip Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2019, BPJS Kesehatan menganggarkan beban insentif kepada direksi sebesar Rp32,88 miliar. Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp4,11 miliar per orang.
Dengan kata lain, seluruh direksi menikmati insentif Rp342,56 juta per bulan.
Sementara itu, beban insentif dewan pengawas BPJS Kesehatan dianggarkan Rp17,73 miliar per tahun.Jika dibagi kepada tujuh dewan pengawas, maka tiap kepala mendapat insentif Rp2,55 miliar. Jika dirata-rata ke dalam 12 bulan, maka insentif yang diterima dewan pengawas adalah Rp211,14 juta per bulan.
Dengan nilai insentif yang jumbo, Timboel pun mempertanyakan urgensi penambahan tunjangan. Apalagi, bonus yang ditambah adalah tunjangan cuti yang memang tidak ada sangkut pautnya dengan peningkatan kinerja BPJS Kesehatan."Tunjangan mereka sudah besar, jadi tunjangan ditambah satu bulan gaji itu maunya apa? Mau liburan ke Planet Mars? Atau Planet Venus? Kalau memang tujuannya meningkatkan kinerja, lantas tunjangan cuti seharusnya tidak relevan," papar dia.Sebelum menyetujui kenaikan tunjangan, seharusnya pemerintah melakukan penilaian menyeluruh terhadap kinerja dewan direksi dan pengawas BPJS. Evaluasi seharusnya ditekankan pada realisasi atas target-target yang ingin dicapai duo BPJS.Di BPJS Ketenagakerjaan, misalnya, pemerintah harus lakukan pengawasan mumpuni untuk target investasi, dana kelolaan, hingga target pelayanan. Sementara untuk BPJS Kesehatan, pemerintah bisa mengukur kemampuan mengumpulkan piutang iuran hingga realisasi pelayanan di masyarakat. Seluruh indikator itu, lanjut Timboel, seharusnya bisa dilihat secara kasat mata. "Presiden harus langsung evaluasi kinerja direksi dan dewan pengawas BPJS. Dan kemudian, kami berharap Menteri Keuangan mencabut PMK tersebut. Jika tidak mau, presiden harus tegur Menkeu. Sebab, ini bikin masyarakat bertanya-tanya, mengapa ada proses yang kontraproduktif di pengelolaan BPJS," jelas dia.Menurut dia, pengelolaan BPJS harus kembali lagi sesuai amanah seharusnya. Iuran yang diberikan peserta seharusnya dikembalikan untuk manfaat bersama."Jadi selama tidak ada argumentasi yang valid mengenai ini, saya menganggapnya mereka hanya aji mumpung," jelas dia.Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan kenaikan tunjangan itu punya perspektif berbeda dari sisi kebijakan publik. Menurut dia, langkah Sri Mulyani ini sebenarnya cukup baik karena bisa memotivasi kinerja manajemen BPJS agar punya kinerja lebih baik. Hanya saja, tetap perlu dilihat korelasi antara kenaikan tunjangan cuti dengan tujuan yang ingin dicapai BPJS. Namun, mengukur hal tersebut tentu akan sulit. Sehingga, sebelum menyetujui kenaikan tunjangan cuti, pemerintah seharusnya memang melakukan evaluasi atas kinerja BPJS."Memang ada kemungkinan kenaikan kompensasi manajemen pelayanan publik bisa meningkatkan kinerja mereka. Tapi tidak serta merta begitu. Tengok saja Aparatur Sipil Negara (ASN), kenaikan jumlah gaji ke-13 dan gaji ke-14 kemarin juga bukan jaminan kinerjanya makin bagus," tutur dia.Maka, sebelum memutuskan kenaikan tunjangan cuti, pemerintah harus mempertimbangkan beberapa prinsip dasar. Pertama, formulasi kebijakannya. Kenaikan angka kompensasi harus rasional sesuai dengan kinerja mereka selama ini.Kedua, prinsip hukum. Pemberian kenaikan tunjangan bisa saja dilakukan kalau memang BPJS sudah melaksanakan tugasnya sesuai aturan hukum dan konstitusi yang berlaku meski targetnya tidak tercapai. Sebab, sebagai institusi pelayanan publik, BPJS tetap harus patuh dengan rambu-rambunya. "Terlebih, bisa jadi institusi pelayanan publik tidak bergerak maksimal karena aturan lain yang diterbitkan pemerintah. Jadi hal ini perlu diperhatikan di dalam assesment tersebut," terang dia.Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kenaikan tunjangan pun sudah terjadi. Jika sudah begini, maka ia menyarankan pemerintah untuk terus mengawasi kinerja BPJS.Bahkan, dengan kenaikan tunjangan ini, masyarakat juga berhak menuntut BPJS untuk lebih transparan mengenai pengelolaan dana selama ini. Apalagi, pendapatan utama mereka adalah iuran kepesertaan."Kalau misalnya ada kenaikan tunjangan, ini kan buat publik bertanya-tanya. Kalau (tunjangan) direksinya naik, maka buat operasional kesehatannya bagaimana? Nah, ini yang sebaiknya perlu dijelaskan secara terbuka ke publik agar tidak menimbulkan spekulasi liar," papar dia. (agt)https://ift.tt/2Mi9lnC
August 14, 2019 at 02:42PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2Mi9lnC
via IFTTT
No comments:
Post a Comment