Persoalan tersebut ditambah dengan lokasi penjualan oleh-oleh yang kurang nyaman, membuat pengalaman mencari oleh-oleh menjelma layaknya sebuah mimpi buruk.
Untuk menghilangkan kesan nelangsa itu, Kementerian Pariwisata bersama lembaga terkait membuat skema agar kegiatan belanja itu menjadi menyenangkan.Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Kuliner dan Belanja Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI, Vita Datau Messakh, menuturkan peran Kemenpar adalah mendorong Pemerintah Daerah untuk membangun sentra cenderamata berdasarkan karakter arsitektur lokal.
"Jika bicara soal oleh-oleh atau cenderamata, Kemenpar fokus kepada kegiatan promosi dari sentra oleh-oleh tersebut," ujar Vita kepada CNNIndonesia.com, Jumat (11/1).
"Kemudian ada juga pelatihan atau bimbingan teknis terkait mengemas produk. Intinya kembali lagi ke soal atraksi, akses, dan amenitas."
Misalnya, Vita melanjutkan, di sentra pembuatan batik atau tenun digelar kelas membatik atau menenun. Selain faktor atraksi, perlu dilengkapi juga fasilitas umum di sentra oleh-oleh.
"Karena kalau untuk produknya itu merupakan ranah Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif), sedangkan UKM-nya adalah urusan Kementerian Koperasi dan UKM."
Menurut Vita, perkara oleh-oleh ini kembali pada komitmen kepala daerah, Kemenpar siap mendukung kepala daerah yang memiliki komitmen tinggi untuk menjadikan pariwisata sebagai potensi bisnis daerah.
"Ini yang menjadi masalah, karena masih ada beberapa pihak yang kurang memperhatikan pariwisata," ujarnya.
Terkait standar tempat oleh-oleh yang ideal, ia menyebutkan nama toko Krisna di Bali dan Hamzah di Yogyakarta sebagai contohnya.
Produk yang dijual di dua tempat itu, Vita menambahkan, sangat beragam. Mulai dari produk kuliner dan non-kuliner, selain itu di tempat itu juga ada kedai dan kelas sebagai atraksi untuk para wisatawan.
Pengembangan industri cenderamata di era digital
Memasuki zaman digital dan ramainya kaum milenial berwisata, industri oleh-oleh mau tidak mau harus mampu beradaptasi dan berbenah.
Saat ini Kemenpar sudah membangun banyak pasar digital, seperti Pasar Karetan (Kendal), Pasar Siti Nurbaya (Padang), dan Pasar Pancingan (Lombok).
Pasar digital adalah sebuah tempat yang 'dipoles' dengan mengedepankan unsur-unsur kelokalan, dan dipadu dengan produk-produk khas daerahnya dan area untuk berfoto bagi kalangan milenial.
"Pasar-pasar seperti ini membawa dampak baik setidaknya pada tiga aspek yakni start-up, melahirkan destinasi wisata baru, dan meningkatnya ekonomi warga setempat," ujar Vita.
"Namun perlu diingat, produk yang dijual harus yang tradisonal dan autentik. Karena produk-produk itu adalah atraksi yang sesungguhnya."
Menurut Vita produk Indonesia sangatlah berpotensi untuk diekspor, ia mencontohkan coklat dan kopi. Untuk kopi, masyarakat Indonesia khususnya anak muda lebih bangga menikmati kopi dari Indonesia ketimbang menikmati produk kopi luar negeri.
Namun, Vita juga mengakui jika saat ini produk coklat masih dibuat oleh warga negara asing, meskipun bahannya dari Indonesia. Baginya persoalan ini lebih terkait pada keinginan masyarakat Indonesia untuk belajar dan mengolah agar bisa bersaing di ranah global.
"Biasanya yang pada protes itu generasi baby boomers, kalau milenial justru akan belajar dan akan lebih berkembang. Itu yang bikin saya bangga sama generasi milenial di Indonesia, mereka mau belajar dan bangga sama produk Indonesia," kata Vita yang juga merupakan Ketua Akademi Gastronomi Indonesia.
"Hal ini berlaku juga sama produk minuman fermentasi seperti wine. Sekarang Prancis mulai kelabakan terkait wine dari Indonesia. Ya jelas dong, orang di Indonesia hampir semua ada."
(agr/ard)http://bit.ly/2VPwsaA
January 14, 2019 at 02:44AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2VPwsaA
via IFTTT
No comments:
Post a Comment