Hal itu diungkap Tim Ekonomi, Penelitian, dan Pengembangan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Harryadin Mahardika dalam Foreign Media Briefing di Prabowo-Sandi Media Center, Jakarta (Jumat 11/1).
"Tujuan pemangkasan pajak pada dasarnya kami ingin memberikan stimulus kepada perekonomian," ujar Harryadin.
Menurut Harryadin, dengan memangkas pajak, alokasi penghasilan masyarakat bakal meningkat sehingga konsumsi pun bisa terkerek. Sementara, perusahaan bisa menggunakan penghasilan tersebut untuk investasi sehingga bisa menciptakan lapangan kerja.
Pemangkasan pajak juga diklaim akan berdampak pada psikologi kepatuhan wajib pajak. Dengan demikian, hilangnya penerimaan pajak bisa terkompensasi oleh naiknya kepatuhan wajib sehingga bisa meningkatkan rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Risiko suap atau 'hanky panky' antara wajib pajak dengan petugas pajak untuk mendapatkan kewajiban pajak yang lebih rendah juga bisa menurun mengingat nominal pajak yang dibayarkan juga sudah turun.
Harryadin merinci, dampak ekonomi dari kebijakan pemangkasan PPh tersebut untuk jangka pendek dapat mengerek perekonomian sebesar 0,3 - 0,7 persen per tahun. Kemudian, untuk jangka panjang, PDB juga akan terkerek 0,2 - 0,4 persen per tahun.
Selain itu, kebijakan ini juga bisa meningkatkan rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,5 hingga 1 persen per tahun. Selama ini, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, rasio pajak Indonesia trennya menurun dan terjebak di kisaran 11 persen.
Tak hanya itu, kebijakan ini juga diharapkan bisa meningkatkan lapangan kerja 1 - 1,5 persen per tahun.
"Kalau perusahaan investasi dia pasti akan perlu lebih banyak orang dan pegawai sehingga kesempatan kerja akan meningkat," ujarnya.
Harryadin menyadari bahwa pemangkasan pajak saja tak akan cukup untuk memastikan dampak yang diinginkan itu tercapai. Karenanya, selain pemangkasan pajak, tim juga mengusulkan untuk memperbaiki infrastruktur pajak. Satu kebijakan yang menurut Harryadin terlambat dilakukan oleh Kabinet Pemerintah Joko Widodo.
Sebagai catatan, Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Core Tax System atau pembaruan sistem inti perpajakan.
"Itu terlambat. Kalau dia mau. Itu harusnya dilakukan di depan.Kalau kami tidak. Kami akan investasi dari awal," ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai pemangkasan pajak merupakan konsekuensi logis dari usainya implementasi amnesti pajak yang diharapkan bisa meningkatkan kepatuhan.
Namun, Yustinus mengingatkan harus ada prasyarat yang dipenuhi agar turunnya tarif pajak berdampak positif pada penerimaan dan investasi. Dalam hal ini, perluasan basis pajak, keandalan sistem administrasi, dan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak. Faktor eksternal seperti kondisi perekonomian juga perlu dipertimbangkan.
"Artinya, tarif turun bukan faktor tunggal," ujar Yustinus.
Pada 2010, Indonesia pernah menurunkan tarif PPh badan dari 30 persen ke 25 persen tetapi rasio pajak dari 2008 ke 2010 malah turun dari 13 ke 10,9 persen. sebagai catatan, pada kala itu, masih terkena imbas krisis ekonomi global.
"Kita pernah punya pengalaman, tarif turun, tax ratio dan penerimaan stagnan," terang dia
Yustinus mengusulkan penurunan tarif PPh bisa dilakukan secara bertahap. Misalnya, untuk PPh badan bisa dari tarifnya saat ini 25 persen ke 22 persen selama dua tahun lalu dievaluasi. Setelah itu, jika hasilnya positif, baru ke 17 hingga 18 persen. Hal ini dilakukan untuk menjaga penerimaan anggaran negara.
"Supaya (kantong negara) tidak jebol. Karena kalau tarif pajak sekalinya turun hampir pasti tidak bisa naik," jelasnya. (sfr/agi)
http://bit.ly/2AGYQCO
January 12, 2019 at 02:54AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2AGYQCO
via IFTTT
No comments:
Post a Comment