Beberapa kali pemerintah menyeru kepada perusahaan untuk menurunkan tarif tiket. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut meminta maskapai untuk menyeret turun tarif tiket pesawat pada Februari lalu.
Bukan tanpa alasan jika orang nomor satu di Indonesia itu angkat bicara. Sebab, kenaikan harga tiket memberikan efek berganda kepada industri lainnya, yakni perhotelan, pariwisata, dan biro perjalanan.
Akibat harga tiket melambung, Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan kunjungan wisatawan domestik pada periode Januari-Maret 2019 turun rata-rata 30 persen. Terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penumpang angkutan udara pada Maret 2019, merosot 21,94 persen secara tahunan pada Maret 2019 dari 7,73 juta menjadi 6,03 juta penumpang.
Memang, maskapai sempat merespons imbauan itu dengan menurunkan tiket. Namun, sifatnya hanya sementara.
Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Akshara Danadiputra mengklaim maskapai penerbangan telah menurunkan harga tiket di rentang 20-60 persen pada Januari 2019. Selain itu, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk juga memangkas tarif tiket sebesar 20 persen usai mendapatkan imbauan dari Presiden Jokowi.
Namun, kondisi itu tidak bertahan lama. Masyarakat hingga kini masih mengeluhkan mahalnya harga tiket pesawat. Padahal, keluhan-keluhan yang disampaikan pihak maskapai terdahulu terkait penyebab naiknya harga tiket telah coba dijembatani pemerintah.
Akshara mengatakan salah satu penyebab mahalnya harga tiket pesawat adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun, saat ini nilai tukar rupiah perlahan menguat.
Nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh posisi Rp14.955 per dolar AS pada 2 November 2018 silam, kini berada di posisi Rp14.252 per dolar AS. Itu berarti, beban kurs pada biaya operasional perusahaan penerbangan seharusnya berkurang.
Maskapai juga mengeluhkan kenaikan harga tiket dipicu mahalnya harga bahan bakar avtur sehingga membebani biaya operasional. Namun, atas instruksi Jokowi, PT Pertamina (Persero) telah menurunkan harga avtur sebesar Rp250 per liter, yakni dari sebelumnya Rp8.210 per liter menjadi Rp7.960 per liter pada Sabtu (16/1).
Lantas, apa sebetulnya ganjalan yang membuat maskapai tak kunjung menurunkan harga tiket?
[Gambas:Video CNN]
Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan kenaikan harga tiket pesawat terjadi lantaran kondisi keuangan maskapai penerbangan sudah kritis. Selama ini, lanjutnya mereka berani untuk membanting harga pada level terbawah tarif batas bawah (TBB).
"Sebelum ini, mereka banting-bantingan harga, jadi rugi pun mereka jalani, sekarang mereka tidak bisa," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Sayangnya, kebijakan tarif murah yang dilakukan maskapai sejak dulu tidak sesuai dengan tanggungan beban operasional. Setidaknya, ada empat faktor yang menjadi beban bagi perusahaan.
Pertama, maskapai menyewa pesawat dari perusahaan asing seperti Boeing dan Airbus, sehingga mereka melakukan transaksi dalam denominasi dolar AS. Biaya sewa ini, lanjutnya, tetap harus dibayarkan oleh maskapai meskipun armadanya tidak mengudara.
Kedua, dalam beberapa tahun terlahir, maskapai penerbangan Indonesia menambah armada secara agresif. Hal ini tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan pasar dan penumpang.
"Begitu pertumbuhan melambat, lihat saja berapa banyak pesawat yang menganggur. Pesawat terbang atau tidak terbang harus dibayar sewanya," jelasnya.
Ketiga, beberapa maskapai penerbangan 'terpaksa' mengudara untuk destinasi yang belum terjangkau dari sisi perhitungan ekonomis. Ini merupakan imbas dari kebijakan pemerintah untuk membuka bandar udara (bandara) baru di beberapa daerah.
Akibatnya, kata Alvin, perusahaan harus menanggung kerugian dari biaya operasional yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan maskapai dari penumpang di destinasi tersebut.
Keempat kenaikan biaya operasional yang tidak terhindarkan. Sebut saja, biaya bandara, gaji pegawai, biaya layanan navigasi dan sebagainya.
Ia menuturkan upaya pemerintah untuk menyeret turun harga avtur belum memberikan dampak signifikan pada kondisi keuangan maskapai penerbangan. Pasalnya, penurunan Rp250 per liter dari biaya avtur hanya berkontribusi sebesar 2 persen dari biaya operasional. Sedangkan avtur sendiri berkontribusi sekitar 30 persen dari biaya operasional.
"Sewa pesawat, biaya perawatan pesawat, bahan bakar, dan biaya kru itu total 70 persen dari biaya operasional. Ini yang membuat maskapai di Indonesia itu tidak efisien," katanya.
Kondisi ini diperparah lantaran Kemenhub tidak pernah mengevaluasi formulasi tarif batas atas (TBA) dan TBB sejak 2016. Akibatnya, kenaikan yang terjadi saat ini sangat signifikan. Berbeda halnya jika Kemenhub rutin memperbarui regulasi itu setiap enam bulan sekali, sehingga maskapai bisa menyesuaikan secara bertahap sejak dulu.
Terbaru, Menhub baru saja merevisi aturan itu pada Maret 2019 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Aturan baru itu menggantikan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Tindak lanjut aturan itu, Menhub mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Poin penting dari kedua aturan tersebut adalah mengubah tarif batas bawah tiket pesawat dari semula sebesar 30 persen dari tarif batas atas menjadi 35 persen.
Dugaan Kartel
Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri menilai mahalnya harga tiket pesawat lantaran tingkat kompetisi industri penerbangan kurang. Maklum saja, hanya ada dua pemain besar dalam industri penerbangan, yakni Garuda Indonesia Group, meliputi Garuda Indonesia, Citilink Indonesia, Sriwijaya Air, dan NAM Air serta Lion Group, yang beranggotakan Lion Air, Batik Air, dan Wings Air.
"Saat ini airlines (maskapai) yang ada cenderung sedikit dan mempunyai afiliasi satu sama lain, sehingga persaingan sering tidak terjadi," katanya.
Ia menilai pemerintah gagal dalam menciptakan iklim kompetisi yang sehat pada industri penerbangan. Dengan dalih, persaingan yang ketat justru membuat maskapai cenderung lalai akan sisi keamanan. Padahal, menurut Yose, dua hal tersebut membutuhkan penanganan yang berbeda.
"Keamanan harus ditangani dengan inspeksi dan pengawasan yang lebih baik. Dengan mengurangi persaingan bukan berarti keamanan jadi membaik," tuturnya.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menduga adanya praktek kartel pada tarif tiket akibat persaingan yang tidak sehat antara dua maskapai raksasa tersebut.
Pernyataan Bhima bukan tanpa alasan. Pertama nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mulai stabil, sehingga keluhan perusahaan terkait beban operasional tidak lagi relevan. Kedua, kenaikan harga tiket ini cenderung berbarengan.
Terkait hal itu, Ashkara yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia mengaku bahwa perusahaan plat merah itulah yang memulai kebijakan kenaikan harga tiket. Ashkara bilang kenaikan harga tiket diambil untuk menjaga kinerja keuangan perseroan. Langkah itu, selanjutnya diikuti oleh beberapa maskapai lainnya.
"Artinya ada dominasi dua grup maskapai yang kendalikan harga dan rugikan masyarakat. Naik (harga tiket) berbarengan, turun juga berbarengan. Ini ada apa?" tuturnya.
Oleh sebab itu, Bhima menilai perlu adanya upaya percepatan dari penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atas dugaan kartel itu. Perkara dugaan kartel ini memang telah sampai kepada KPPU.
Terakhir, mereka memperpanjang waktu investigasi terkait dugaan kartel tiket pesawat selama 30 hari terhitung sejak Senin (22/4). Alasannya, lembaga belum menemukan dua alat bukti yang cukup.
Tak hanya itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga mengaku akan berkonsultasi dengan KPPU terkait kewenangannya untuk menurunkan tarif batas atas harga tiket pesawat. Pasalnya, kewenangan Kementerian Perhubungan hanyalah sebatas mengatur tarif batas atas dan batas bawah.
Bhima menilai pemerintah perlu memberlakukan sanksi tegas jika terbukti maskapai melakukan kartel tarif pesawat.
"Ke depan harus ada pencegahan dari KPPU apabila ditemukan kecenderungan dua pemain oligopoli bersamaan menaikan atau menurunkan harga," katanya.
Untuk mengurangi potensi kartel Bhima menilai pemerintah juga perlu membuka pasar bagi pemain baru untuk meningkatkan tingkat kompetisi pada industri penerbangan.
Pemain baru ini tidak perlu dari pemain asing. Pemerintah bisa membuka peluang bagi maskapai seperti Susi Air dan Express Air jika mereka ingin memasuki pasar penerbangan penumpang komersil. (agi)
http://bit.ly/2UYnzd4
May 03, 2019 at 09:13PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2UYnzd4
via IFTTT
No comments:
Post a Comment