CNN Indonesia | Senin, 14/01/2019 14:37 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- "Saya sangat ketakutan mendengar tiga bulan lagi obat saya tidak ada. Saya harus bagaimana? Apa saya harus bicara ke Presiden? Please, help me! Apa mungkin nyawa saya dan 600 ribu orang lainnya tidak berarti?"Kalimat itu keluar dari mulut Baby Rivona Nasution dengan nada resah. Dari sorot matanya, tampak dia begitu ketakutan nyawanya di ujung tanduk.
Baby merupakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Dia sudah hidup dengan penyakit itu sejak 16 tahun lalu. Dalam 10 tahun terakhir, Baby bertahan hidup dengan obat antiretroviral (ARV).
Obat yang harus dikonsumsi setiap hari oleh ODHA ini mampu menekan jumlah virus di dalam tubuh sehingga penderita tetap sehat dan tidak menularkan virus pada orang lain. Dalam kata lain, obat ini tak hanya membuat kualitas hidup ODHA meningkat, tapi juga menekan penularan virus HIV/AIDS.Tapi, kini Baby dan penderita HIV/AIDS lainnya di Indonesia terancam tak lagi bisa berharap pada ARV lantaran persediaan obat itu semakin menipis. Bahkan, obat diprediksi akan habis dalam waktu tiga bulan ke depan.
Gara-garanya adalah gagal tender pengadaan. Sejak 2004, pemerintah menyediakan obat ARV yang diberikan secara gratis pada ODHA. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1190 Tahun 2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat ARV untuk HIV/AIDS.
Namun, tahun lalu Kementerian Kesehatan gagal mengadakan persediaan obat ARV jenis regimen kombinasi Tenofovir, Lamivudin dan Efaverens (TLE) untuk tahun 2019 di Indonesia.
Ilustrasi hiv/aids (REUTERS/Ajay Verma)
|
Pengadaan ARV TLE dilakukan melalui prosedur lelang terbatas dengan dua perusahaan farmasi yang memiliki hak menjual obat jenis ini di Indonesia. Kedua perusahaan farmasi itu di antaranya Kimia Farma dan Indofarma. ARV TLE diimpor dari perusahaan farmasi di India.
"Tender yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan perusahaan farmasi Kimia Farma dan Indofarma pada akhir 2018 dinyatakan gagal," kata Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (10/1).
Namun, lelang itu gagal lantaran Kemenkes dan dua perusahaan BUMN itu tak menemui titik temu kesepakatan harga.
Aditya mengungkapkan, Kimia Farma mematok harga jual ARV TLE senilai Rp404 ribu per botol, sedangkan Indofarma sebesar Rp385 ribu per botol. Harga ini dinilai kelewat mahal karena obat sebenarnya hanya dijual Rp105 ribu dari perusahaan di India. Ditambah dengan perhitungan asuransi, gudang, bunga bank, biaya distribusi, bea masuk, dan Ppn diperkirakan biaya obat hanya mencapai Rp175 ribu.
Aditya menyebut, harga ARV di Indonesia lebih mahal 300 persen dibandingkan harga jual internasional. Ini juga menyebabkan pemborosan uang negara sebesar Rp201 miliar.Alhasil, anggaran sebesar Rp340 miliar untuk ARV TLE dikembalikan kepada Kementerian Keuangan dan obat ini tak jadi dibeli. Akibatnya, 43 ribu ODHA yang meminum obat ini terancam tak bisa mendapatkan obat ini.
Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah mencari solusi dengan menggunakan dana bantuan donor dari Global Fund untuk membeli ARV TLE langsung dari India sebanyak 220 ribu botol. Sejauh ini, data persediaan ARV di seluruh Indonesia menunjukkan kelangkaan dan hanya cukup hingga Maret 2019 saja.
Saat ini, Kemenkes sendiri tengah bersiap untuk kembali memulai lelang ARV TLE, sehingga persediaan obat tetap tercukupi.
"Tender akan dimulai bulan depan, jadi itu tidak akan berdampak pada stok kami," ujar Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Engko Sosialine Magdalene, Minggu (13/1).
Pasien yang tak mendapatkan obat tersebut, kata Engko, bisa mengonsumsi pil dengan bahan yang sama. Stok pil tersebut diklaim masih cukup hingga Desember. (ims/asr)
1 dari 2
http://bit.ly/2Cnk1tu
January 14, 2019 at 09:37PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2Cnk1tu
via IFTTT
No comments:
Post a Comment