Hal itu diungkapkan dalam laporan Lembaga pemeringkat internasional Moody's Investor Service pada 10 Januari 2019.
Moody's memprediksi pertumbuhan China hanya akan berada di level 6 persen pada 2019, atau menurun tajam dibanding prediksi pertumbuhan 2018 yakni 6,6 persen. Ini merupakan imbas dari aktivitas perdagangan yang lesu akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS), ditambah lagi pengetatan kredit yang berlangsung sejak 2018.
Goyahnya ekonomi akan berdampak pada lemahnya aktivitas impor komoditas ke Negeri Tirai Bambu itu, dan menghasilkan dampak langsung ke negara-negara pengekspor sektor ekstraktif seperti Indonesia. Tak hanya itu, kinerja perdagangan internasional juga akan terpukul oleh pelemahan harga komoditas.
"Australia, Indonesia, dan Malaysia terutama akan terkena dampak utama dari pelemahan permintaan China dan penurunan harga komoditas ini," ujar Moody's dikutip Jumat (11/1).
Dampak tersebut bisa semakin kentara karena China adalah mitra ekspor utama Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) antara Januari hingga November 2018 menunjukkan, ekspor ke China tercatat US$22,7 miliar atau mengambil 15,12 persen dari total pangsa pasar ekspor Indonesia.
Selain itu, Moody's juga mencatat nilai ekspor Indonesia ke China tercatat 2,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Meski demikian, kinerja ekspor Indonesia diprediksi tidak akan separah Mongolia dan Kepulauan Solomon, di mana 80 persen dari kinerja ekspor mereka ditujukan ke China.
"Mereka terpapar parah karena menyuplai batu bara, tembaga, dan produk kayu-kayuan ke China," ungkap laporan tersebut.
Moody's menyebut aktivitas ekspor masih memiliki peluang karena adanya pengalihan permintaan impor AS dari China pasca perang dagang dimulai.
Hanya saja, peluang itu bisa muncul jika negara-negara Asia lain menyediakan produk ekspor yang selama ini sering diekspor China ke AS, seperti komponen elektronik, tekstil, mesin listrik, dan otomotif.
Hingga saat ini, Moody's menyebut Indonesia belum dapat menerima manfaat dari pengalihan permintaan AS, lantaran ekspor produk elektronik ke China hanya 0,1 persen terhadap PDB, bahkan 0 persen ke AS.
Kondisi ini justru akan dimanfaatkan oleh negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan untuk produk elektronik serta Vietnam dan Bangladesh untuk produk tekstil.
"Kemampuan manufaktur dan keunggulan kompetitif negara-negara tersebut terdapat di ongkos produksi yang murah serta efisiensi produksi," pungkas laporan tersebut. (glh/lav)
http://bit.ly/2Fsrgnm
January 12, 2019 at 09:02AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2Fsrgnm
via IFTTT
No comments:
Post a Comment