Pages

Tuesday, May 28, 2019

Candra Wijaya: Soeharto, Tragedi Mei 1998, dan Emas Olimpiade

TESTIMONI

Candra Wijaya, CNN Indonesia | Selasa, 28/05/2019 20:08 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Olahraga bulutangkis saya kenal melalui keluarga. Keluarga saya besar saya menyukai olahraga, khususnya bulutangkis. Keluarga saya (ayah, Hendra Wijaya) bermain bulutangkis seangkatan Tjun-Tjun, Christian Hadinata dan Iie Sumirat. Sehingga saya dan kakak saya diperkenalkan serta ikut-ikutan main bulutangkis.

Mulai bermain bulutangkis di usia empat atau lima tahun di Cirebon. Kebetulan, saya berlatih di klub orang tua sendiri yakni PB Rajawali. Hal itu juga yang menjadi inspirasi untuk logo atau lambang Candra Wijaya International Badminton Centre hingga kini, yaitu burung rajawali yang melambangkan semangat nasionalis karena mirip burung garuda.

Setelah berlatih di Cirebon hingga usia 12 (tahun 1987), saya mencoba masuk klub besar di ibu kota. Termotivasi ingin menyusul kakak saya [Indra Wijaya] yang sudah lebih dulu berada di Jakarta.

Di Pelita Bakrie saya merintis karier dari bawah, dan saya mulai merasakan sulit dan beratnya menjadi seorang atlit. Mulai dari tingkat pemula, remaja hingga terus perlahan akhirnya dapat berprestasi ke tingkat junior.

Ketika itu saya tidak langsung bermain sebagai pemain ganda, tapi masih bermain di sektor tunggal putra. Prestasi terbaik saya waktu itu sempat menjadi semifinalis tunggal putra Kejuaraan Dunia Junior 1990 di Jakarta, namanya masih Bimantara World Junior Championship.

Tantangan dan cobaan datang setelah itu, saya harus setop bermain bulutangkis selama tiga bulan balik ke Cirebon karena terlalu banyak latihan, dahulu disebut sakit kuning atau hepatitis.

Cadra/Sigit menjadi generasi emas ganda putra Indonesia setelah Ricky/Rexy.Cadra/Sigit menjadi generasi emas ganda putra Indonesia setelah Ricky/Rexy. (AFP PHOTO/Nicolas ASFOURI)
Ketika itu dokter menyarankan saya agar berhenti berolahraga berat. Namun karena tekad dan kecintaan saya pada bulutangkis, perlahan saya menjalani pemulihan dan mulai main lagi. Namun saya ganti haluan pindah ke sektor ganda.

Puji Tuhan memang sudah jalannya. Selain perasaan lebih tertarik dan yakin, saya bermain di ganda supaya tidak berbenturan dengan kakak saya. Akhirnya setelah pulih dan terus mencari pengalaman, tahun 1993 saya berhasil menjadi juara kejuaraan nasional ganda putra. Meskipun ketika itu adalah pasangan dadakan Namrih Suroto, dari situ pula yang membawa saya dipromosikan ikut seleksi ke Pelatnas Cipayung.

Di Pelatnas sebelum berpasangan dengan Sigit Budiarto, saya sempat beberapa kali ganti pasangan, pertama bersama Dadan Hidayat, tidak lama rekan saya itu mundur. Lalu saya dipasangkan dengan Ade Sutrisna (almarhum). Bersama Ade saya pernah menjuarai Polandia Terbuka, Kanada Terbuka, Amerika Serikat Terbuka, dan Swedia Terbuka yang ketika itu setara grand prix atau super series.

Candra mengaku banyak belajar dari pengalaman dan para senior.Candra mengaku banyak belajar dari pengalaman dan para senior. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
Bersama Sigit Budiarto kami cukup cepat melejit dan puncaknya waktu itu menjuarai Kejuaraan Dunia di Glasgow, Skotlandia 1997. Semua tentu berkat kerja keras serta perhitungan yang matang, sehingga kami dapat masuk ke level papan atas. Boleh dibilang saat itu usia saya masih cukup belia, 21 tahun.

Sparing, kompetisi, dan belajar dari para senior dan pelatih yang mumpuni ketika itu membuat kami maju pesat. Percaya diri kami tinggi karena selama latihan dapat atau sering mengalahkan senior-senior kami, terutama Ricky Subagja/Rexy Mainaky yang baru meraih medali emas Olimpiade Atlanta 1996.

Di masa itu kami (Candra/Sigit) seperti 'Angin Taifun' (sebutan yang disematkan media ketika itu). Bisa dibilang, selama 1997 kami dapat memenangkan beberapa kejuaraan, bahkan belum sampai 10 turnamen kami sudah masuk peringkat satu dunia, tentu karena poinnya sudah tinggi, serta dapat mengalahkan unggulan-unggulan atau pasangan ganda yang peringkatnya lebih tinggi dari kami.

Di tahun 1998 saya menjuarai Piala Thomas bersama tim Indonesia, juga berhasil mempertahankan prestasi itu di tahun 2000 dan 2002. Berikutnya saya meraih emas di Olimpiade Sydney tahun 2000 bersama Tony Gunawan. Sampai akhirnya karena satu lain hal saya memutuskan mundur dari Pelatnas pada 2009. Namun saya masih tetap bermain secara profesional.

Selama berkarier di bulutangkis saya juga pernah bermain di ganda campuran, sempat meraih medali emas SEA Games 1997 bersama Eliza Nathanael, juara Thailand terbuka bersama Jo Novita, dan pernah berpasangan dengan Greysia Polii, menjuarai Kejurnas Beregu Campuran 2003 bersama PB Jaya Raya.

Waktu SEA Games 1997 di Jakarta, saya masih ingat ketika itu kami bermain tiga set dan seru sekali melawan Ricky/Rexy. Kami berhasil menang dengan skor 15-4, 14-17, 15-11. Setelah itu kami baru tahu bahwa final tersebut adalah ajang mencetak rekor untuk Ricky/Rexy.

Candra Wijaya: Soeharto, Tragedi Mei 1998 dan Emas Olimpiade
Apabila mereka berhasil atau menang di SEA Games artinya gelar Ricky/Rexy lengkap, namun kami gagalkan ketika itu. Jadi, mohon maaf untuk senior. Hehehe...

Sebetulnya kami tidak berpikir mau menjegal mereka (teman sendiri), hanya kami (Candra/Sigit) memang tengah menanjak, tentu motivasi kami hanya ingin menjadi juara.

Begitu juga dengan saya. Saya sendiri belum menjuarai Asian Games perorangan, hanya juara atau meraih emas di kategori beregu. Sayang atau kurang puas tentu ada, namun pada akhirnya itu bukan menjadi masalah atau tidak berlebihan karena ajang lainnya sudah pernah saya raih.

Mungkin di situlah pembelajarannya, sehingga saya dapat terus terpacu berkarier, semangat dan terus maju dan bermain bulutangkis, meraih prestasi-prestasi lainnya yang lebih tinggi. (sry/jun)

1 dari 2

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2MeiXQP
May 29, 2019 at 03:08AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2MeiXQP
via IFTTT

No comments:

Post a Comment