Managing Director Sogo Indonesia Handaka Santosa mengatakan pertumbuhan pendapatan sejatinya tetap meningkat pada masa Ramadan dan Lebaran jika dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Namun, pendapatan melambat bila dibandingkan dengan momentum Ramadan-Lebaran 2018.
Ia memperkirakan pertumbuhan pendapatan mungkin hanya sekitar 5-10 persen pada Lebaran 2019. Sementara pada tahun lalu, pertumbuhannya bisa mencapai kisaran 15-18 persen. Padahal, menurut dia, para peritel sudah berusaha membangkitkan keuntungan dari program midnight sale pada akhir pekan.
"Kami kena hajar dampak kerusuhan beberapa hari lalu, sehingga operasional toko tutup lebih cepat dan orang malas belanja. Beberapa toko mengeluh pendapatan turun 80-100 persen beberapa hari lalu," ucap Handaka kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/5).
Senada, Sekretaris Perusahaan Ramayana Lestari Sentosa Setyadi Surya menunjukkan nada kurang optimis dengan kinerja perusahaan pada masa Ramadan dan Lebaran tahun ini. Namun, ia tak ingin membagi proyeksi berapa sekiranya pertumbuhan pendapatan yang bisa dikantongi perusahaan dalam dua bulan terakhir ini.
"Untuk Lebaran itu sulit dibandingkan (dengan Lebaran tahun lalu), karena kan juga ada pergeseran hari. Pokoknya harapannya setahun tumbuh 3,7 persen termasuk penjualan di Lebaran," tuturnya.
Sementara, realisasi penjualan perusahaan pada kuartal I 2019 baru mencapai Rp1,54 triliun atau 17,42 persen dari total target tahun ini senilai Rp8,84 triliun.
Sebaliknya, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman justru memperkirakan industri ritel makanan bisa tumbuh cemerlang pada masa Lebaran tahun ini. Hal ini tercermin dari kenaikan permintaan dan produksi makanan dan minuman di tingkat industri sejak sebulan terakhir.
"Prediksinya penjualan naik 30 persen. Permintaan Lebaran tahun ini lebih bagus dari sebelumnya," ungkap Adhi.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengaku tak heran bila geliat industri ritel nonmakanan lesu pada Lebaran tahun ini. Menurutnya, hal ini karena masyarakat kembali menerapkan skala prioritas di tengah minimnya peningkatan daya beli seperti yang terjadi pada 2017.
"Income (pendapatan) mungkin naik, tapi tidak cepat. Sedangkan harga kebutuhan meningkat, jadi harus beli sesuai prioritas. Kalaupun ada THR, itu hanya sebagian yang signifikan," ujarnya.
Ia menjelaskan peningkatan daya beli terbilang minim karena sumber pendapatan tidak meningkat cukup tinggi. Secara teori, peningkatan pendapatan seharusnya meningkat sekitar 8 persen.
Hal ini berasal dari formula pertumbuhan ekonomi ditambah laju inflasi. Namun, menurutnya, kenaikan pendapatan yang riil diterima masyarakat mungkin hanya sekitar 2-5 persen.
"Padahal, harga bahan makanan naik 5 persen, pakaian 6-10 persen, tiket pesawat bahkan sampai 50 persen," celetuknya.
Hal tersebut, sambungnya, membuat masyarakat memiliki tingkat daya beli yang minim atau setidaknya sama dengan tahun lalu, namun dengan harga yang lebih tinggi. Walhasil, masing-masing rumah tangga menerapkan skala prioritas dalam melakukan pengeluaran.
Ia mencontohkan jika sebuah keluarga mengeluarkan Rp10 juta untuk memenuhi kebutuhan Lebaran, sekitar 50 persen biasanya untuk tiket transportasi mudik, 30 persen untuk baju baru, dan sisanya untuk makan-makan. Namun, karena ada kenaikan harga tiket pesawat, porsinya berubah menjadi 70 persen untuk tiket transportasi mudik.
Akibatnya, menurut dia, pengeluaran untuk membeli baju baru dipangkas. Sedangkan kebutuhan makanan biasanya jarang terusik, tetap 20 persen. "Kemampuan konsumsinya tetap, tapi alokasinya yang jadi berbeda," imbuhnya.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati juga tak heran bila industri ritel nonmakanan kurang apik kinerjanya pada tahun ini. Toh, penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak yang biasanya memunculkan pengeluaran sandang pun tidak meningkat drastis.
"BPS juga sudah mengonfirmasi bahwa dampak Pemilu Serentak hanya ke basic needs, hanya ke makanan, yang di luar itu justru turun. Bahkan, dana Pemilu yang besar itu tidak mengalir ke UMKM, sehingga pendapatan masyarakat di sektor informal tidak meningkat," katanya.
Selain itu, menurut dia, pendapatan masyarakat juga terdampak dengan perlambatan ekonomi global dan penurunan harga komoditas di pasar internasional. Padahal, menurut dia, harga barang dan jasa cenderung stabil tinggi, sehingga ada skala prioritas dalam pengeluaran.
Enny pun menepis kemungkinan rendahnya alokasi belanja ritel nonmakanan masyarakat akibat meningkatkan kecenderungan menabung. Toh, Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan hanya tumbuh sekitar 6 persen secara tahunan.
[Gambas:Video CNN]
Begitu pula dengan peralihan dana dari DPK ke surat utang dari pemerintah dan penawaran kepemilikan saham dari korporasi yang masih terbilang minim. "Kalaupun ada peralihan simpanan jadi investasi, tapi sumber pendapatannya tidak meningkat," tekannya.
Enny melihat pemerintah perlu turun tangan dalam mendorong kinerja industri ritel makanan dan nonmakanan. Sebab, kinerja industri ini menjadi salah satu penopang konsumsi rumah tangga yang berkontribusi ke pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, obat paling manjur yang harus dilakukan adalah meningkatkan realisasi investasi. Sebab, investasi menjadi modal bagi kelahiran industri dan penciptaan lapangan kerja sebagai sumber pendapatan masyarakat.
Namun, ia kurang menganjurkan bila pemerintah hanya fokus meningkatkan jumlah pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Sebab, pendapatannya tergolong tidak tetap, sehingga dikhawatirkan mudah menggoyangkan daya beli masyarakat.
"Kalau konsumsi rumah tangga hanya sekitar 5 persen, pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa tumbuh di atas 5,1 persen. Makanya, perlu bantuan dari investasi," pungkasnya. (agi)
http://bit.ly/30NaAiy
May 28, 2019 at 09:59PM from CNN Indonesia http://bit.ly/30NaAiy
via IFTTT
No comments:
Post a Comment