Pages

Saturday, July 6, 2019

Sutopo Purwo Nugroho, Ujung Tombak Pengabar Bencana Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia -- Meski terkejut, Sutopo berusaha tegar menerima kabar vonis kanker paru-paru stadium IV B dari dokter, Desember 2017 lalu. Pria bernama lengkap Sutopo Purwo Nugroho itu kemudian menceritakan perihal penyakit yang diidapnya itu pada keluarga dan meminta mereka tegar.

Dokter kemudian menyarankan Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjaga pola makan, rutin minum obat, serta menjalani rangkai kemoterapi.

Di sela-sela menjalani pengobatan yang menurutnya tak nyaman itu, Sutopo tetap menjalankan tugas: menginfokan bencana, baik melalui akun media sosial, grup percakapan dengan jurnalis, mengirim siaran pers, maupun menggelar keterangan pers.

Sutopo memang ujung tombak BNPB dalam mengabarkan dan mengklarifikasi bencana. Dalam kondisi apapun, pria asal Boyolali ini teguh menjalankan amanah.

Oktober 2018 lalu, Sutopo bahkan langsung memberikan keterangan pers di depan 135 wartawan nasional dan luar negeri, meski dia baru saja keluar dari rumah sakit.

Sutopo juga menegaskan bahwa kanker paru-paru yang diderita tak akan menghalangi tugasnya sebagai penyampai kabar bencana.


Menjalani kemoterapi, Sutopo masih bisa berkelakar bahwa terapi untuk menjinakkan sel kanker itu telah melunturkan kegantengannya.

Keaktifan Sutopo sebagai pengabar bencana membuat media asing The Straits Times Asian memberikan anugerah "The First Responders" kepadanya.

Penghargaan yang diumumkan dalam The Straits Times Global Outlook Forum 2019 ini bertujuan untuk mengapresiasi pada relawan atau petugas kebencanaan yang tanpa pamrih membantu penanganan bencana alam.

Sutopo, Lelaki Pengabar BencanaSutopo Purwo Nugroho semasa hidupnya. (CNN Indonesia/Harvey Darian)

Sutopo juga mendapat penghargaan The Most Inspirational ASN 2018 setelah melewati seleksi ketat Dewan Juri Anugerah ASN, ajang untuk mencari ASN panutan yang punya kinerja baik.

Bagi wartawan, Sutopo adalah "tempat bergantung" untuk mencari info saat bencana terjadi. Dengan berbagai keterbatasan komunikasi dan sumber daya manusia di wilayah bencana, media hampir selalu menjadikan Sutopo rujukan utama info bencana.

Kegigihannya memberikan dan mengklarifikasi kabar bencana di media sosial juga membuatnya menjadi salah satu tokoh favorit di dunia maya Indonesia. Apalagi ia tergolong senang berinteraksi lewat Twitter.


Sutopo mengaku mulanya enggan diberi jabatan "pengabar bencana" tersebut, mengingat latar belakang keilmuannya jauh berbeda.

"Waktu itu saya dipaksa dilantik. Saya enggak punya background komunikasi, tapi bisa menjelaskan itu (bencana)," katanya.

Latar belakang sebagai peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dulu membuatnya dekat dengan media. Dia pernah menjadi narasumber karena salah satu penelitiannya di Situ Gintung menjadi rujukan saat tanggul itu jebol, dan menewaskan sekitar 100 orang pada 2009.

Lelaki kelahiran Boyolali, Jawa Tengah 7 Oktober 1969 itu meraih gelar sarjana pertamanya dari jurusan geografi, Universitas Gadjah Mada pada 1993. Dia lantas melanjutkan studi di bidang Hidrologi di Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Doktor. Dia mengaku nyaris menjadi profesor jika tidak keburu kerja di BPPT dan BNPB.


Sutopo pun sebenarnya siap jika harus digantikan oleh orang lain. Namun, menurut dia menjelaskan data dan mekanisme bencana bukan perkara gampang.

Dalam menyiapkan data bencana sebelum disampaikan kepada media massa, Sutopo kerap menghabiskan waktu seharian penuh buat menyusunnya. Baginya tak mudah mendapatkan data-data saat terjadi bencana.

Dia terlebih dulu harus mengontak setiap posko, menyatukan data, menyortir, memeriksa dan menganalisisnya sebelum dibagikan ke media. Belum jika wilayah bencana sulit dijangkau atau jalur komunikasi putus.

Ditambah dengan maraknya hoaks atau berita bohong melalui media sosial.

"Hoaks bertubi-tubi. Masuk ke ranah politik, saya tampilkan apapun disalahkan," katanya.

Pengumpulan data menjadi semakin sulit karena fisik Sutopo semakin melemah. Dia harus menyempatkan melakoni kemoterapi tiga pekan sekali, di sela-sela tugasnya. Lambat laun pengobatan itu memperlihatkan efeknya.

"Efek kemoterapi itu sakit, pasti mual, muntah, pusing, badan nggreges, kemudian juga kuping jadi budek, rambut rontok, ganteng saya luntur. Nafsu makan enggak ada. Seminggu biasanya, tiga hari enggak ngantor," ujarnya.

Meski merasa kepayahan, Sutopo selalu menyempatkan diri menjadi pengabar bencana. Demi menyesuaikan zaman, Sutopo juga harus fasih dalam menggunakan teknologi online. Seluruh informasi selalu dia pampang di laman media sosial Twitter dan Instagram.


Dia juga masih rajin membalas pesan dalam aplikasi WhatsApp dari wartawan. Dia mengelola tujuh grup WhatsApp jurnalis nasional, dan 14 grup wartawan lokal, dan satu grup pers BNPB. Ada lebih dari tiga ribuan wartawan mesti dia layani di saat-saat genting.

Ponselnya juga kerap berdering seharian karena dikontak keluarga atau korban yang ingin mendapat penjelasan. Instansi pemerintahan lain juga senantiasa menunggu informasi darinya.

Ia pernah berjanji tetap berusaha bekerja sebaiknya-baiknya memberikan kabar meski dalam kondisi sakit parah.

Kini Sutopo tak lagi bisa memberikan kabar bencana. Ia mengembuskan napas terakhir di China pada Minggu (7/7). Doa-doa mengalir untuknya. Tagar untuk Sutopo #ripsutopo pun menjadi trending nasional.

Selamat Jalan Pak Topo.

[Gambas:Video CNN] (sur/vws)

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2Jw2Lpu
July 07, 2019 at 02:35PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2Jw2Lpu
via IFTTT

No comments:

Post a Comment